MENNENG DAN GAUN INDAH
Pada suatu
hari, hiduplah keluarga kecil yang sangat miskin yaitu Menneng dan ibunya.
Mereka hidup di sebuah gubuk kecil di kampung Renden. Ayah Menneng meninggal
saat ibunya masih mengandung dirinya. Ayahnya meninggal karena jatuh dan
tertimpa pohon besar. Hal itulah yang membuat ibu Menneng harus berusaha untuk
bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Menneng
adalah anak yang sangat suka bermain, dia masih berumur 7 tahun yang beranjak 8
tahun. Dia sangat jarang membantu ibunya. Tapi ibunya tidak pernah memaksanya
untuk membantunya bekerja karena fisik ibunya juga masih kuat untuk bekerja
sendiri.
Pada suatu siang menjelang sore...
“Menneng,
umbara la mu olai tuh?” Teriakan ibu Menneng yang melihat Menneng berlari
keluar rumah tanpa berpamitan terlebih dahulu. “Dasar anak kurang ajar,
susahnya berpamitan kepada orang tua sebelum keluar bermain. Tunggu saja dia
pulang, akan ku cubit dia.”
Beberapa menit kemudian...
“Nah,
akhirnya pulang juga kamu anak nakal. Tumben ya pulangnya cepat, apakah kamu
tidak mendapat teman bermain di luar sana?” kata ibu Menneng yang sambil
mencubit lengan tangannya.
“Maaf bu,
Menneng tidak akan mengulangi perbuatan Menneng lagi. Menneng akan belajar
untuk berpamitan sebelum keluar dari rumah. Tadi Menneng buru-buru bu karena
melihat pak Sengke yang pulang dari pasar.”
Pak Sengke
adalah orang tua dari teman Menneng. Dia suka ke pasar dan setelah pulang dari
pasar dia pasti selalu membawa gaun baru untuk anaknya yaitu teman Menneng.
Menneng sangat suka melihat gaun-gaun yang milik temannya. Dia akan berlari
dengan kencang setiap kali melihat pak Sengke pulang dari pasar karena dia mau
melihat gaun baru yang dimiliki temannya. Menneng hanya bisa memandangi gaun-gaun
temannya, walaupun dia tidak pernah memilikinya setidaknya dia merasa sangat
bahagia jika bisa melihatnya.
“Sudah! Diam! Pergi ke dapur dan makan ubi yang sudah ibu rebus.
Awas ya kamu mengulangi hal itu.” Sahut ibunya yang masih terlihat kesal pada
Menneng
Dengan diam
dan penuh rasa takut, akhirnya Menneng pergi ke dapur dan makan ubi rebus itu.
Sambil makan “Tuhan, jika aku juga punya ayah apakah aku juga bisa memiliki
gaun? Aku ingin sekali memiliki gaun tapi ibu tidak pernah membelikannya karena
ibu mengatakan bahwa dia tidak memiliki uang.” Seruan hati Menneng
“Kenapa kamu
melamun nak? Mulai besok kamu tidak boleh ke rumah pak Sengke. Kamu harus ingat
bahwa ibu tidak punya uang untuk membelikanmu benda seperti itu. Sa’barra’
ko sia dak mu tiro bang apa tu na ampui tau senga’. Setelah makan kamu
bereskan meja itu, ibu mau mengambil kayu bakar dulu di hutan.” Kata ibu
Menneng
Sambil
membersihkan meja, Menneng menangis dan mengungkapkan semua isi hatinya. Dia
ingin sekali memiliki satu gaun indah, tapi keinginannya itu harus dikubur
dalam karena dia berpikir bahwa itu hanyalah mimpi belaka. Tetapi Menneng tidak
pernah menyerah, walaupun dia tahu bahwa memiliki gaun adalah hal yang mustahil
namun Menneng terus berdoa kepada Tuhan agar Tuhan memberikan Menneng mimpi
memakai gaun di saat tidur malamnya. Setidaknya itu akan membuat Menneng merasa
bahagia.
Beberapa
hari kemudian saat ibu Menneng bangun pagi, dia membuka pintu. Kemudian, saat
dia hendak melangkah keluar dia kakinya teransung sebuah kotak yang berada
tepat di bawahnya. Kotak itu berwarna pink yang terbuat dari kardus namun
rasanya kotak itu habis terkena percikan air sehingga beberapa bagian warnanya
mulai memudar. Ibu Menneng sangat kaget, tidak tinggal diam dia langsung
mengambil kotak itu sambil berteriak, Hei!! Siapa pemilik kotak ini. Karena
teriakan ibu Menneng yang sangat keras, Menneng yang masih tidur pun langsung
terbangun. Menneng keluar dari kamar sambil mengusap matanya.
“Ibu,
mengapa engkau berteriak-teriak di pagi hari, ada apa bu?”
“Minda ka’ apa te na patorro inde depan pintu banuanta’.
Tanpa basa
basi, Menneng langsung menghampiri ibunya dan berkata bahwa kotak itu adalah
milik temannya yaitu anak pak Sengke. Setelah ibu Menneng mendengar hal itu,
ibunya langsung menyuruh Menneng untuk mengembalikan kotak itu, namun saat
Menneng hendak mengembalikannya, kotak itu terjatuh dan didapatinya sebuah
surat lalu memberikan kepada ibunya untuk dibaca.
“Hai
Menneng sahabatku, aku tahu kamu sangat suka salah satu gaunku, aku sangat
ingin memberikan padamu. Namun... aku sangat takut pada ayahku, nanti dia
memarahiku. Tapi aku janji, kalau aku punya uang sendiri aku pasti
membelikannya gaun untukmu”
Ya, benar
itu adalah surat yang pernah ditulis oleh teman Menneng. Kemudian, pak Sengke’
ayah dari temannya itu membaca surat yang pernah ditulis anaknya. Akhirnya pak
Sengke’ memenuhi keinginan anaknya untuk memberikan gaun itu kepada Menneng
yang sudah dianggap sahabat oleh anaknya.
Beberapa menit setelah membaca surat itu...
“Tidak!
Tidak! Tidak” kata Menneng sambil menangis dengan sangat keras.
Oh... ternyata teman Menneng mengalami kecelakaan saat dirinya
hendak pulang sekolah. Kecelakaan itu sangat parah hingga mengakibatkan dirinya
meninggal dunia. Saat itu, ayahnya yaitu pak Sengke sangat sedih dan untuk
menghilangkan kesedihannya, pak Sengke memilih untuk pindah Rumah. Ketika pak
Sengke membereskan kamar anaknya, didapatinya surat yang ditulis anaknya dan
akhirnya dia mengikuti setiap tulisan yang ada di surat anaknya. Salah satunya
memberikan gaunnya anaknya kepada Menneng.
“Tolong jaga gaun ini dari sahabat
kamu” (Tulisan pak Sengke dalam kotak itu)
Perasaan bahagia dan sedih kini dirasakan oleh Menneng. Bahagia karena akhirnya bisa merasakan gaun indah di tubuhnya, namun dia juga sedih karena harus kehilangan temannya yang disayanginya.
TAMAT.
Umbara
la mu olai tuh : Mau kemana kamu
Sa’barra’ ko sia dak mu tiro bang apa tu na ampui tau senga’ :
kamu harus sabar dan jangan melihat apa yang orang lain punya
Minda ka’ apa
te na patorro inde depan pintu banuanta : Entah ini milik siapa yang tertinggal
di depan rumah kita
No comments:
Post a Comment